TETANGGA OH TETANGGA

Oleh : Rama Andriawan

Siapa bilang enak hidup bertetangga. Tidak sepenuhnya benar. Banyak tantangannya. Kadang saya menyesal, kenapa harus ada tetangga. Tapi, begitulah hakikat manusia, tak bisa hidup sendiri. Berinteraksi dengan masyarakat sangat diperlukan. Seperti juga dengan tetangga.

Tetangga, dalam kehidupan bermasyarakat adalah orang yang paling dekat dengan kita. Mereka adalah orang yang lebih dulu tahu keadaan kita sebelum saudara kita yang tinggal jauh. Bayangkan saja, jika anda dibuang ke dalam pulau yang tidak berpenghuni. Kepada siapa anda meminta tolong. Lain halnya, kalau rumah kemalingan. Anda masih bisa teriak berharap ada tetangga yang mendengar.

Tapi, beda dengan tetangga saya. Dulu, kami sangat akrab. Hubungan kami rukun dan harmonis. Tetangga yang lain sampai iri melihat kedekatan kami. Hari-hari yang dilalui terasa begitu indah. Kami ibarat sekuntum bunga yang merekah mempesona di tengah kegersangan.

Sebagai tetangga yang baik, saling mengunjungi merupakan tali penghubung untuk menjalin rasa persaudaraan diantara kami. Meski begitu, saya selalu menjaga sikap. Jangan sampai tindakan saya jadi tidak sopan dimata tetangga. Makanya, pandai-pandailah mengambil hati.

Entah kenapa, tiba-tiba tetangga saya ini mulai berulah. Kebetulan, didekat rumah kami, ada sebidang tanah yang sudah ditumbuhi padang rumput. Tanah itu sudah dari dulu jadi hak milik saya. Tetangga saya bilang, itu adalah tanahnya. Padahal, jelas-jelas sertifikat tanah ada di saya. Tapi dia bersikeras, kalau tanah itu milknya.

Tanpa sepengetahuan saya, rupanya ia mencari cara agar tanah itu bisa direbutnya. Saya tidak terlalu memperdulikannya. Toh, di sertifikat sudah tercantum atas nama saya. Alangkah kagetnya saya,di suatu ketika ia kembali mempersoalkan tanah itu. Dan, apa yang terjadi. Semua orang bersaksi, bahwa pemilik tanah yang sah adalah tetangga saya. Lemas jantung saya mendengarnya, pahit ludah ini terasa. Dengan berat hati, tanah itu saya relakan. Mau bagaimana lagi, prosedur dan kelengkapan mengenai tanah itu lebih lengkap punya tetangga saya ketimbang punya saya.

Sejak itu, hubungan kami mulai renggang. Meskipun dulu kami juga sering punya masalah. Tapi tak sampai seperti ini. Saling mengunjungi pun kami sudah jarang. Kedekatan itu terasa agak dingin.
Ternyata, lama tidak bertegur sapa, sikap tettanggaku ini semakin hari makin menjadi. Seenaknya saja dia terus mengusik. Mungkin karena dia melihat saya seorang sosok yang kalem. Makanya, dia berani demikian. Apa yang saya punya, ingin dimilikinya. Mulai dari hal kecil sampai hal yang besar.

Kemarin, ketika saya memancing ikan dikolam belakang rumah. Tetangga saya itu datang dengan membawa peralatan memancing. Untung cepat saya bertindak. Langsung saya usir dia. Seenaknya saja tanpa permisi masuk kelahan orang. Coba, siapa yang tidak berang?. Ditanyai alasannya, katanya cuma numpang lewat saja. Alasan yang tak logis.

Pernah juga waktu itu, saya lagi duduk membaca koran di teras rumah. Tiba-tiba terdengar suara musik dari lagu favorit saya. Saya sering karaokean dengan lagu itu. Tapi, perasaan saya tidak sedang memutarnya. Makin lama lagu itu makin jelas terdengar di kuping. Ini mimpi atau apa. Seolah tidak percaya, saya mencubit pipi. Refleks saya tersentak dari kursi. Ternyata benar. Lagu saya sedang dinyanyikan orang lain.

Saya langsung bangkit dan mencari tahu dari mana suara itu. Koleksi lagu seperti itu cuma saya yang punya. Panas hati ini mendengarnya. Setelah saya telusur, eh rupanya sitetangga yang menyanyikan lagu itu. Dengan asyiknya ia terlarut dalam liriknya. Dalam hati saya berpikir, nih orang kok nggak ada kapok-kapoknya ya. Dibaek-baekin kok malah ngelunjak. Entah kapan dia mengambilnya dari rumah. Beruntung dia mau minta maaf. Seabagai tetangga yang baik, tentu saya terima dengan lapang dada.

Yang lebih aneh lagi, disuatu pagi saya sedang menjemur kain di samping halaman rumah. Kebetulan sitetangga saya lewat. Tiba-tiba ia menghentikan langkah persis di depan pagar rumah. Apalagi ini, pikir saya. Sorotan matanya begitu tajam melihat saya. Kemudian ia masuk dan langsung menarik kain yang saya jemurkan, baju kesayangan saya. Dia enak saja mengambil baju itu. Lantas saya tanya kenapa dia mengambilnya.
"Apa anda tidak sadar, kalau baju yang anda jemur itu punya saya!" Begitu katanya, dengan sedikit membentak.
"Lihat warnanya! Disini cuma saya yang punya seperti itu," lanjutnya lagi.

Saya terdiam sejenak mendengar ucapannya. Meskipun sebenarnya hati ini bagai api yang membara, saya mencoba menghadapinya dengan tenang. Kemudian memberinya penjelasan.
"Warna boleh sama, tapi motif dan coraknya kan beda."
"Tidak! Ini punya saya!" Masih juga dia terus ngotot. Sudah dijelaskan, otaknya tetap membatu. Lantas, karena sudah muak mendengarnya. Saya tumpahkan seluruh emosi di kepala.
"Apa anda tidak tahu! Dari nenek moyang saya sampai tuju turunan, hingga dlapan tanjakan kain seperti ini sudah ada!"
"Jangan lihat warnaya! Perhatikan corak dan motifnya!"

Kemudian, tetangga saya itu meraba pelan-pelan dan mengamati dengan mata yang dalam kain tersebut. Memang benar, kain itu berbeda dengan yang ia punya. Cara membuatnya saja sangat bebeda, butuh keterampilan dan ketelitian. Merasa sadar, tidak ada bukti yang bisa dijadikan alasan. Akhirnya, dengan muka memerah ia mengembalikan kain itu dan meninggalkan halaman rumah saya dengan perasaan malu.

Beginilah jadinya, kalau bertetangga dengan orang yang tidak punya moral. Sesuka hatinya ingin merebut punya orang lain. Tetangga seperti ini prilakunya tak ubahnya seperti binatang. Sama sekali tidak memiliki sifat malu. Mestinya, dalam bertetangga janganlah menjadi orang yang suka memancing amarah. Apalagi sampai mengambil yang bukan haknya. Bukankah agama mengajarkan kita untuk saling memuliakan diantara setiap umatnya.

Ah, itu hanya sebagian kecil kisah tetangga saya. Masih banyak lagi sebenarnya kelakuannya yang telah membuat hati ini sakit. Terlalu panjang kalau diceritakan semuanya. Tapi saya sarankan kepada anda. Dalam bertetangga, jagalah segala perlengkapan yang ada di rumah anda. Simpanlah baik-baik. Kalau perlu, tandai. Sebab, jika anda punya tetangga yang tidak bermoral. Berhati-hatilah. Jangan nanti anda marah, jika ternyata panci kesayangan anda ada di dapur tetangga. He...he... ***

peluang usaha

peluang usaha